Kamis, 13 Desember 2012

Guru, Tanpa Tanda Jasa?

Oleh Reski Wati Salam
Anggota LPM Penalaran UNM


Layakkah guru dipandang sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang sangat anggun dilambangkan dalam lagu himne guru yang seringkali dikumandangkan pada hari pendidikan nasional. Peringatan hari pendidikan nasional 2 Mei  masih sangat kental terasa dimana menjadi momentum bagi seluruh komponen bangsa untuk merefleksi kembali pemikiran-pemikiran besar Ki Hajar Dewantara dalam memajukan bangsa ini melalui pendidikan. Beliau memang tidak sendirian berjuang menanamkan jiwa merdeka bagi rakyat melalui bidang pendidikan. Namun tak diragukan lagi bahwa kecerdasan, keteladanan dan kepemimpinannya telah menghantarkan beliau sebagai tokoh pendidikan yang diagung agungkan karyanya. Sosok seperti itulah yang sekarang ini sangat dirindukan oleh bangsa Indonesia guna memajukan pendidikan nasional Indonesia.

Salah satu sosok yang patut kita acungi jempol ialah Saur Marlina Manurung yang sering dipanggil butet. Dia adalah sosok guru yang berani mengabdikan dirinya untuk mengajar di daerah-daerah terpencil. Beliau memberi pembekalan ilmu kepada anak-anak primitif yang sebelumnya tidak pernah merasakan manisnya bangku pendidikan. Untuk memasuki dan mendekati masyarakat primitif tidaklah mudah. Sebelumnya, Butet harus melakukan pendekatan-pendekatak kepada masyarakat itu. Seperti tinggal bersama, tidur bersama, makan apa yang mereka makan, bertelanjang kaki, dan mengenakan kemben yang dapat membuatnya kedinginan saat malam hari. Sungguh suasana yang sangat berbeda yang biasa dia rasakan di kota besar Jakarta. Itulah sebabnya mengapa Butet menuai segudang prestasi yang luar biasa. Sejumlah penghargaan besar berhasil dia peroleh, antara lain Woman of the Year bidang pendidikan AnTV 2004, Hero of Asia Award by Time Magazine 2004, Kartini Indonesia Award 2005, Young Global Leader Hoonorees 2009, dan banyak lagi (Metrotvnews.com, 05/04/2010).




Tak hanya di Jakarta, di daerah kelahiranku Makassar juga terdapat sosok yang patut dibanggakan. Dia adalah guru bahasa inggrisku dulu, keprofesionalan dan kejujurannya membuatku kagum dan menjadikannya sebagai suri teladanku. Dia selalu lebih mementingkan kepentingan siswa-siswanya dibandingkan kepentingan yang lainnya bahkan kepentingan keluarganya. Menurut beliau, kepentingan umum lebih penting daripada kepentingan pribadi. Waktunya sering dihabiskan di sekolah, memberikan pelajaran tambahan, atau bahkan hanya sekedar memberi motifasi kepada siswa-siswa. Tidak hanya itu, kadang dia menggunakan dana pribadinya untuk meng-copykan materi belajar. Guru saya itu memang terkenal sangat suka membagikan materi belajar sebagai referensi.        


Guru Sebagai Ad Referendum dalam  Pencapaian Tujuan Nasional

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945   (UUD 1945) menyatakan bahwa salah satu tujuan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mewujudkan tujuan nasional tersebut, pendidikan merupakan faktor yang sangat menentukan. Pendidikan nasional Indonesia sendiri bertujuan untuk mengembangkan moral, sains, dan teknologi untuk membentuk peserta didik yang beradab dan bermanfaat, trampil, demokratis, damai, berkeadilan, dan berdaya saing tinggi sehingga dapat mensejahterakan kehidupan dan dapat mengharumkan nama baik Indonesia dikacamata dunia. Untuk mewujudkan tujuan tersebut tidaklah mudah, dibutuhkan partisipasi aktif antara pemerintah, orang tua, peserta didik, dan guru.

Diantara keempat elemen tersebut, guru merupakan elemen yang paling utama karena dengan sistem pendidikan yang berlaku saat ini yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), guru memperoleh beberapa wewenang penting antara lain wewenang untuk merumuskan kompetensi dasar, mengembangkan Standar Kompetensi (SK), menyusun Kompetensi Dasar (KD) melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), mengembangkan bahan ajar, menentukan sistem penilaian, melakukan evaluasi dan berbagai wewenang lainnya secara otonomi sekolah. Atas wewenang tersebut, seharusnya guru memiliki kesejahteraan dan citra baik karena kualitas peserta didik sangat bergantung pada pengajarnya dan pendidikan merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan suatu bangsa.


Sejahterahkah Guruku?

Apresiasi pemerintah dalam meningkatkan martabat dan kedudukan serta kesejahteraan guru dengan memberikan berbagai fasilitas, tunjangan profesi  serta tambahan gaji. Hal tersebut diatur pada pasal 15 UUGD No. 14/2005 yang menjelaskan bahwa guru dan dosen akan mendapatkan gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus (bagi guru yang ditempatkan didaerah terpencil), dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru.

Atas dasar tersebut, sebenarnya kesejahteraan guru tidak dapat diragukan lagi pemenuhannya. Bahkan sejak tahun 2007 menteri pendidikan telah melakukan pelaksanaan program sertifikasi guna meningkatkan kesejahteraan guru. Hingga tahun 2010, tercatat pelaksanaan sertifikasi guru telah diikuti oleh  sekitar 200.000 guru di seluruh Indonesia (www.sertifikasiguru.org). Namun sayangnya, hingga saat ini pembagian alokasi dana sertifikasi belum juga rata disetiap daerah.

Di beberapa daerah, khususnya daerah perkotaan masih banyak terdapat guru yang belum mendapatkan dana sertifikasi karena banyaknya guru yang berebut untuk segera mendapatkan dana tersebut sedangkan kuota (jatah) yang diberikan terbatas untuk setiap daerah dan jenjang pendidikannya. Tak jarang, guru yang telah mengabdi lama bahkan sampai dua puluh tahun belum juga memperoleh dana sertifikasi sedangkan di daerah pedesaan, banyak guru yang baru mengabdi sekitar lima tahun telah mendapatkan dana sertifikasi karena banyaknya kuota yang belum terisi sehingga peluang mereka memperoleh dana sertifikasi lebih besar dibandingkan di daerah perkotaan. Buruknya penetapan kuota per daerah terpaksa mengorbankan guru-guru yang mengabdikan dirinya di daerah perkotaan.

Selain itu, bagaimana dengan nasib guru honorer yang juga turut serta berperan dalam pencapaian tujuan nasional pendidikan Indonesia. Baru-baru ini tepatnya hari rabu (18/5), sejumlah guru honorer di Jawa Barat (Jabar) menggelar unjuk rasa didepan Gedung Sate Bandung. Dalam unjuk rasa tersebut, mereka menuntut perbaikan kesejahteraan terkait pemebrlakuan UUGD No. 14/2005 yang dinilai belum menyentuh guru honorer. Dalam UUGD tersebut menyebutkan bahwa guru honorer berhak mendapatkan penghasilan diatas kebutuhan hidup minimum. Namun kenyataannya, rata-rata pengahasilan guru honorer di Jabar berkisar Rp 250.000,00 per bulan. Dimana jumlah tersebut sangat jauh dibawah gaji minimum kabupaten atau kota(Metrotvnews.com, 18/05/2011).

Sungguh aktualitas sangat jauh berbeda dengan kenyataan  yang diumbar-umbarkan oleh Mentri Pendidikan. Contoh tersebut hanya segelintir contoh kecil bukti ketidak-rataan kesejahteraan guru. Ada guru yang memperoleh kesejahteraan yang sangat tinggi namun ada juga guru yang masih hidup dibawah garis kemiskinan. Seharusnya Mentri Pendidikan dapat lebih peka terhadap guru-guru yang hidup dibawah garis kemiskinan karena bagaimanapun mereka juga merupakan tombak dari perbaikan Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia.      


Guruku, Jangan Kau Kotori Dirimu

Sertifikasi bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan guru dengan harapan meningkat pula kualitas mengajarnya. Namun dalam aktualitas, pelaksanaan sertifikasi belum juga bedampak besar terhadap kemajuan pendidikan nasional. Bahkan dengan  adanya sertifikasi tersebut, menciptakan goresan kotor oleh beberapa guru nakal karena berusaha memperoleh sertifikasi dengan jalan yang tidak semestinya. Untuk memperoleh sertifikasi tidak langsung dapat dinikmati oleh para guru.  Mereka harus memenuhi berbagai macam persyaratan sebagai guru profesional seperti yang diamanahkan oleh UUGD No. 14/2005. Pasal 8 mensyaratkan bahwa guru harus berkualifikasi S1 atau D  IV. Selain itu, pasal 10 menjelaskan bahwa guru juga harus memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial serta kompetensi professional serta banyak pasal-pasal lainnya. Untuk memperoleh predikat sebagai guru profesional, guru harus mengumpulkan minimal 850 kredit yang diakumulasi dari kualifikasi pendidikan dan keempat kompetensi guru.

Untuk memenuhi standar kualifikasi dan kompetensi tersebut, berjuta cara ditempuh oleh guru salah satunya adalah mengikuti berbagai forum ilmiah seperti seminar, workshop serta pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga. Namun sayangnya, tarkadang forum ilmiah tersebut dijadikan sebagai ”ladang basah” untuk mengeruk keuntungan. Seminar, pelatihan maupun workshop yang diselenggarakan hanya dalam waktu sehari, menarik kontribusi dari 100 ribu hingga 150 ribu rupiah. Seolah olah para guru hanya memburu sertifikat dan menomor duakan ilmu yang dapat dia peroleh. Sekali lagi hal itu dikarenakan alasan pemenuhan berkas sertifikasi dan penaikan pangkat, maka tujuan utama dari forum ilmiah itupun menjadi hilang. Bukan itu saja, sertifikasi guru kini menjadi barang dagangan oknum tertentu dengan iming-iming kredit poin yang tinggi.

Bukan hanya itu yang lebih parahnya lagi, banyak guru yang tidak tau atau bahkan malas membuat Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dimana PTK merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang guru untuk memperoleh sertifikasi dan kenaikan pangkat. Apabila seorang guru tidak melakukan PTK maka guru tersebut terancam tidak akan mendapatkan dana sertifikasi karena kurangnya point yang ia miliki. Ancaman yang lebih keras lagi ialah dia akan mogok pangkat. Karena ketakutan yang begitu tinggi akhirnya beberapa guru menghalalkan seluruh cara untuk bisa mendapatkan PTK. Salah satunya ialah dengan membayar orang-orang yang memang ahli dalam pembuatan PTK dan menjadikan PTK itu sebagai karya aslinya.

Jika guru seperti mereka yang akan mendapatkan predikat sebagai guru profesional, dapat kita bayangkan bagaimana nasib bangsa ini di masa mendatang. Nasib anak bangsa sepuluh tahun yang akan datang yang telah dididik oleh tenaga pendidik yang tidak mengutamakan kejujuran.  Masih pantaskah guru seperti itu memperoleh predikat guru tanpa tanda jasa?. Kelak, bangsa ini hanya akan menjadi bangsa yang mudah direkayasa dan hanya mengedepankan formalitas semata. Dan akhirnya hanya akan menjadi bahan celaan bangsa lain apabila hal itu terus kita biarkan berlangsung.

Meskipun masih terdapat banyak kekurangan dalam sistem pembagian dana sertifikasi, hal itu tidak berpengaruh terhadap keinginan para lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) untuk memasuki pendidikan keguruan. Bahkan semenjak mulainya teralokasikannya dana sertifikasi, universitas-universitas spesialis yang memang mencetak calon guru kebanjiran pendaftar. Contohnya saja tahun lalu saat saya tammat SMA, saat itu saya hampir patah semangat untuk mengikuti seleksi keguruan di Universitas Negri Makassar (UNM) karena saat itu saya sering mencari informasi mengenai jumlah pendaftar dan menurut salah satu Koran yang sempat kubaca saat itu, jumlah pendaftar keguruan UNM meningkat dua kali lipat.   


Selain karena adanya program sertifikasi yang diadakan mentri pendidikan itu, pada dasarnya profesi guru memang profesi yang seharusnya diagung-agungkan oleh masyarakat karena guru merupakan sebuah profesi yang mana memiliki status sosial yang terpandang dan dihargai dimata masyarakat. Ada syarat-syarat yang mesti dipenuhi oleh sebuah pekerjaan untuk dapat memperoleh predikat sebagai profesi. Salah satunya adalah sebagai tenaga profesionl  dibidang tertentu yang diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan yang cukup yang dilakukan oleh lembaga pendidikan yang akuntabel atau dapat dipertanggungjawabkan.

Meskipun dengan adanya guru-guru nakal tersebut tidak lantas kita menyebut bahwa semua guru di Indonesia itu buruk namun sampai saat ini juga ada guru yang mengutamakan nilai-nilai luhur dalam menjalankan pekerjaannya. Contohnya sosok Butet yang sebelumnya telah dijelaskan jasa-jasanya di dunia pendidikan. Dengan pemaparan contoh-contoh tersebut saya sangat berharap seluruh calon guru dapat menjadikan Butet sebagai suri tauladan. Mencontohi nilai-nilai luhur yang dia miliki.

Selain itu, yang mesti diperhatikan lagi ialah nasib para guru swasta. Tak diragukan lagi, guru swasta juga berperan penting dalam pengingkatan mutu pendidikan nasional Indonesia. Namun sayangnya masih banyak guru swasta yang hidup melarat. Seperti yang diberitakan harian seputar Indonesia pada hari ini, tanggal 20 mei 2011 bahwa sekita 4.000 guru swasta di Kabupaten Tegal masih hidup miskin bahkan berpenghasilan Rp 725.000 per bulannya. Sungguh sangat disayangkan pendidik penerus bangsa berpeghasilan dibawah Upah Minimum Kabuapaten (UMK) Tegal 2011 (Seputarindonesia.com, 20/05/2011).

Buruknya kualitas pendidikan di Indonesia tidak boleh disalahkan sepenuhnya kepada guru karena faktor peserta didik juga sangat mempengaruhi. Saat ini, peserta didik sudah mengalami dekadensi moral. Peserta didik tidak lagi seperti dulu. Sekarang, beberapa peserta didik bahkan berani menginjak, menghujat, dan memukul gurunya apabila tidak senang atas apayang dilakukan gurunya terhadapnya. Bahkan sewaktu saya SMA, saya sempat melihat senior saya menunggu dipinggir jalan sambil menggenggam balok kayu pemukul ditangan kanannya. Tak lama kemudian orang tua senior saya itu datangi dan menyeret paksa anaknya untuk pulang. Keesokan harinya saya mendengar bahwa ternyata senior saya itu sedang menunggu guru fisika saya dan berencana memukulnya. Namun untungnya teman dari rencana pelaku pemukulan tersebut segera mengadu kepada orang tua rencana pemukulan tersebut. Senior saya itu dendam hanya karena permasalahan tersinggung atas perkataan guru saya.  

Perbaikan citra guru sangat penting dilakukan agar kelak siswa tidak akan meremehkan dan sewenang wenang lagi terhadap guruhnya. Salah satu contoh buruknya citra guru ialah adanya terbersik kabar bahwa yang mendaftar program studi keguruan merupakan orang-orang yang memiliki kemampuan akademik marginal kebawah sehingga para lulusan cenderung gengsi untuk mendaftarkan diri mereka diprogram studi keguruan meskipun sebenarnya mereka berkompeten dibidang keguruan. Masalah gengsi ikut serta berpengaruh terhadap rendahnya efektifitas pendidikan nasional di Indonesia.

Rata-rata peserta didik tidak peduli bagaimana hasil pembelajaran formal, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan dijenjang yang paling tinggi sehingga dianggap hebat oleh masyarakat. Sebagai bukti pada saat pembagian jurusan antara kelas IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) dan IPS(Ilmu Pengetahuan Sosial). Siswa yang memilikik nilai tinggi rata-rata memilih kelas IPA meskipun dari segi nilai ia lebih condong ke IPS. Rata-rata pelajar tidak mau ditempatkan di kelas IPS karena menurut mereka kelas IPS hanyalah kelas pembuangan orang-orang bodoh sehingga mereka gengsi untuk duduk di kelas IPS.  Selain itu, peserta didik juga hanya memikirkan bagaimana cara mencapai standar pendidikan bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat diterapkan dalam kehidupannya.


Semua hal tersebut mengakibatkan hilangnya makna dari pendidikan itu sendiri. Itulah sebabnya mengapa terdapat banyak pengangguran terdidik di Indonesia. Data menunjukkan pada bulan Agustus 2010, pekerja pada jenjang pendidikan SD ke bawah masih tetap mendominasi yaitu sekitar 54,5 juta orang (50,38 %), sedangkan pekerja dengan pendidikan Diploma sekitar 3,0 juta orang (2,79 %) dan pekerja dengan pendidikan setara Sarjana hanya sebesar 5,2 juta orang (4,85 %) data tersebut berdasarkan laporan bulanan data sosial ekonomi oleh BPS edisi 10 maret 2011.

Saya sebagai mahasiswa yang kuliah dibidang keguruan dan dibesarkan oleh orang tua yang berprofesi sebagai guru merasa tersakiti mengetahui kenyataan itu. Saya bermimpi suatu saat nanti tidak akan lagi ada guru yang berlaku curang yang ada hanyalah guru yang dapat mempertanggungjawabkan status profesionalnya sebagai seorang guru.

Keberadaan guru sangat berefek terhadap karakter generasi pelajar, meskipun efeknya belum dirasakan pada hari itu, efeknya akan terlihat 10 atau 20 tahun yang akan mendatang. Ketika guru memberikan pembelajaran yang tidak jujur seperti pembelajaran menjadi pembohong dalam ujian nasional saja, secara tidak langsung mereka dididik menjadi generasi-generasi palsu, berijasah palsu dan bersarjana palsu. Jadi bagaimana kontes profesionalisme guru hari ini menggambarkan siapa anak Indonesia hari ini. Ketika anak bangsa dibiasakan menjadi generasi-generasi palsu maka esok lusa kemungkinan besar mereka akan tumbuh  menjadi bibit-bibit koruptor sebagai pemimpin-pemimpin bangsa yang palsu. Sudah saatnya seluruh elemen guru belajar untuk berhati-hati dalam menampakkan tindakannya di depan siswa dan mengaplikasikan profesionalisme dari aspek kepribadian yang dapat diteladani. Seorang guru harus memenuhi dan memahami secara mendalam kompetensi-kompetensi yang harus dipenuhi,  entah dari aspek pedagogik, kemampuan membangun komunikasi yang baik dengan siswa, kemampuan membangun pondasi pribadi yang layak di contoh dan pribadi yang mampu mentransfer ilmu sebagaimana tujuan awal adalah berniat tulus dan memiliki panggilan jiwa untuk mencerdaskan anak-anak bangsa tanpa terkecuali.

Hari ini, penulis bermimpi, Indonesia ke depan dapat mencetak guru-guru yang layak mengajar dan merupakan guru yang dilahirkan bukan guru yang dijadikan. Seorang guru harus andil menjadi power yang dapat menuntun anak-anaknya kelak. Seorang guru yang dapat dengan bangga memperlihatkan keprofesionalismenya. 







0 komentar:

Posting Komentar