Sabtu, 05 Mei 2012

ARTI PENTING DARI AIR MATA KAKEK PENJUAL BALON KOKEK-KOKEK

Gambar kakek-kakek yang sedang menjual balon kokek-kokek
Makassar, 20 April 2012. Saat matahari mulai menampakkan sinarnya, ku telah berada di depan leptop untuk menyelesaikan tugas yang sangat menumpuk. Saat saya sedang sibuk berdiskusi dengan leptop saya, tiba-tiba kakakku dewi datang menghampiri. “dek, temani ka dulu pergi toko beli tehel tuk wc” tuturnya dengan sambil memegang bahuku. Akupun bergegas menutup leptopku dan segera memakai jilbab abu-abu yang sering saya gunakan.
Bunyi klakson motor kakakku pun terus berbunyi sebagai tanda panggilannya kepadaku dan dengan langkah yang tergesah-gesah ku ayunkan kakiku menuju motor yang sedang ditumpangi kakakku. Saat berada di atas motor, yang ku pikirkan iyalah toko itu berada di dekat rumah yang berada di hertasning dimana ayah dan ibuku bertedu dari langit.
Sekitar sepuluh menit di atas motor, ternyata dugaan saya salah. Bukannya ke jalan hertasning baru malah ke arah vetran. Saat di jalanan, ku lihat seorang kakek tua berkulit hitam akibat trik matahari yang menyiram. Ia berjalan mengenakan sandal jepit yang kelihatannya sudah sangat tua dan membawa enam balon yang kelihatannya sangat kecil dan menurutku tak laku untuk dijual. Balon itu akrab disebut “Kokek-kokek” di Makassar. Beliau berjalan terus-menerus menjajakan barangnya dengan pandangan mata yang kosong.
Tak sedetikpun kualihkan pandanganku dari kakek tua itu. Akhirnya roda motor yang dikendarai kakakkupun berhenti berputar. Ku biarkan kakakku masuk ke toko sendirian meyelesaikan apa yang ia ingin kerjakan dan saya tetap duduk diatas motor sambil berharap kakek itu melewati tempat saya berpijak. Dua puluh menitpun berlalu, harapan datangnya kakek itupun mulai sirna. Tapi tiba-tiba ku lihat hadirnya dibalik mobil yang sejak tadi menghalangi pandanganku tuk melihat lurus jauh kedepan. Tak terlalu jauh dariku, ku lihat dia melangkah sedikit demi sedikit, dia berjalan tidak seperti kebanyakan orang, langkanya begitu kecil dan dengan melihatnya berjalan, saya dapat merasakan betapa sulitnya menggerakkan kakinya. Ia berjalan layaknya robot yang tidak memiliki engsel, “Mungkin tulang engselnya sakit” pikirku.
Tak lama, ku tersadar bahwa tak sepeserpun uang yang ada di genggamanku. Segera saya lari ke dalam toko mencari kakakku yang sedang sibuk berbicara dengan pemilik toko. “pinam k dulu uang dua puluh ribu mu”, ucapku dengan nada yang tergesah-gesah. Setelah mendapatkan uang, akupun kembali berlari keluar menuju kakek tua itu. Dengan perlahan, ku berhentikan langkah kaki kakek tua itu, ku beri tanda bahwa saya ingin membeli balon yang ia jual, sebenarnya saya tidak membutuhkan balon itu, yang ku inginkan hanya membuat kakek itu senang karena jerih payahnya membuat balon dan jalan di tengah trik matahari itu tidak sia-sia.
Sesaat setelah ku berikan seluruh uang yang tadi ku pinjam, ia langsung berdoa sambil mencium-cium uang yang saya berikan. Meskipun tak mendengar apa yang ia katakan karena keterbatasannya dalam berbicara, namun saya yakin kalau dia sedang berdoa demi kebahagiaanku. Tiba-tiba tak ku sadari air mataku meluncur di pipiku, karena malu dilihat menangis oleh orang-orang disekitarku, dengan seketika ku hapus air mataku dan langsung beranjak pergi mendekati motor yang sejak tadi terparkir.
Sambil memegang balon yang entah mau ku sembunyikan kemana karena saya juga malu dilihat oleh kakakku, saya tidak mau dicap gadis yang kekanak-kanakan. Sambil duduk di atas motor saya berpikir, tiba-tiba pandanganku menuju ke seorang anak kecil yang sedang duduk diatas pangkuan ibunya. Terpikir olehku tuk memberikan balon yang kecil itu kepada anaknya, namun saya juga sedikit takut membuat ibunya tersinggung dan banyak kemungkinan lain yang mengganggu pikiranku dan membuatku sedikit takut. Ku himpun semua keberanianku dan jalan menuju ibu itu, dengan tanpa mengeluarkan sedikir katapun, saya mengayunkan balon itu kepada anaknya dengan muka yang penuh dengan senyuman tanda saya ingin memberikan balon itu kepada anaknya. Ternyata anaknya sangat senang dengan balon itu. Sungguh hatiku sangat bahagia melihatnya.
Setelah itu, saya kembali menghampiri kakakku tuk mengajaknya bergegas pulang karena sesaat lagi saya ingin kuliah. Akhirnya kakakkupun pulang denganku. Saat ku minta uang parkir kepada kakakku, wanita yang tadi anaknya ku berikan balon itu tiba-tiba berdiri dan mengatakan “Jangan mi Nak, sudah ma tadi na kasi tawwa anakku balon,” tutur wanita itu yang ternyata seorang tukang parkir dan akhirnya kamipun pulang kerumah.

0 komentar:

Posting Komentar