Guru, Tanpa Tanda Jasa?
Oleh
Reski Wati Salam
Anggota
LPM Penalaran UNM
Layakkah guru
dipandang sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang sangat anggun dilambangkan
dalam lagu himne guru yang seringkali dikumandangkan pada hari pendidikan
nasional. Peringatan hari pendidikan nasional 2 Mei masih sangat kental terasa dimana menjadi
momentum bagi seluruh komponen bangsa untuk merefleksi kembali pemikiran-pemikiran
besar Ki Hajar Dewantara dalam memajukan bangsa ini melalui pendidikan. Beliau
memang tidak sendirian berjuang menanamkan jiwa merdeka bagi rakyat melalui
bidang pendidikan. Namun tak diragukan lagi bahwa kecerdasan, keteladanan dan
kepemimpinannya telah menghantarkan beliau sebagai tokoh pendidikan yang
diagung agungkan karyanya. Sosok seperti itulah yang sekarang ini sangat
dirindukan oleh bangsa Indonesia guna memajukan pendidikan nasional Indonesia.
Salah satu sosok
yang patut kita acungi jempol ialah Saur Marlina Manurung yang sering dipanggil
butet. Dia adalah sosok guru yang berani mengabdikan dirinya untuk mengajar di daerah-daerah
terpencil. Beliau memberi pembekalan ilmu kepada anak-anak primitif yang
sebelumnya tidak pernah merasakan manisnya bangku pendidikan. Untuk memasuki
dan mendekati masyarakat primitif tidaklah mudah. Sebelumnya, Butet harus
melakukan pendekatan-pendekatak kepada masyarakat itu. Seperti tinggal bersama,
tidur bersama, makan apa yang mereka makan, bertelanjang kaki, dan mengenakan
kemben yang dapat membuatnya kedinginan saat malam hari. Sungguh suasana yang
sangat berbeda yang biasa dia rasakan di kota besar Jakarta. Itulah sebabnya
mengapa Butet menuai segudang prestasi yang luar biasa. Sejumlah penghargaan
besar berhasil dia peroleh, antara lain Woman of the Year bidang pendidikan
AnTV 2004, Hero of Asia Award by Time Magazine 2004, Kartini Indonesia Award
2005, Young Global Leader Hoonorees 2009, dan banyak lagi (Metrotvnews.com,
05/04/2010).
Tak hanya di
Jakarta, di daerah kelahiranku Makassar juga terdapat sosok yang patut
dibanggakan. Dia adalah guru bahasa inggrisku dulu, keprofesionalan dan
kejujurannya membuatku kagum dan menjadikannya sebagai suri teladanku. Dia
selalu lebih mementingkan kepentingan siswa-siswanya dibandingkan kepentingan
yang lainnya bahkan kepentingan keluarganya. Menurut beliau, kepentingan umum
lebih penting daripada kepentingan pribadi. Waktunya sering dihabiskan di
sekolah, memberikan pelajaran tambahan, atau bahkan hanya sekedar memberi
motifasi kepada siswa-siswa. Tidak hanya itu, kadang dia menggunakan dana
pribadinya untuk meng-copykan materi belajar. Guru saya itu memang terkenal sangat
suka membagikan materi belajar sebagai referensi.
Guru
Sebagai Ad Referendum dalam Pencapaian Tujuan
Nasional
Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa salah satu
tujuan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mewujudkan
tujuan nasional tersebut, pendidikan merupakan faktor yang sangat menentukan. Pendidikan
nasional Indonesia sendiri bertujuan untuk mengembangkan moral, sains, dan
teknologi untuk membentuk peserta didik yang beradab dan bermanfaat, trampil,
demokratis, damai, berkeadilan, dan berdaya saing tinggi sehingga dapat
mensejahterakan kehidupan dan dapat mengharumkan nama baik Indonesia dikacamata
dunia. Untuk mewujudkan tujuan tersebut tidaklah mudah, dibutuhkan partisipasi
aktif antara pemerintah, orang tua, peserta didik, dan guru.
Diantara keempat
elemen tersebut, guru merupakan elemen yang paling utama karena dengan sistem
pendidikan yang berlaku saat ini yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP),
guru memperoleh beberapa wewenang penting antara lain wewenang untuk merumuskan
kompetensi dasar, mengembangkan Standar Kompetensi (SK), menyusun Kompetensi
Dasar (KD) melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), mengembangkan bahan
ajar, menentukan sistem penilaian, melakukan evaluasi dan berbagai wewenang
lainnya secara otonomi sekolah. Atas wewenang tersebut, seharusnya guru memiliki
kesejahteraan dan citra baik karena kualitas peserta didik sangat bergantung
pada pengajarnya dan pendidikan merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan
suatu bangsa.
Sejahterahkah
Guruku?
Apresiasi
pemerintah dalam meningkatkan martabat dan kedudukan serta kesejahteraan guru
dengan memberikan berbagai fasilitas, tunjangan profesi serta tambahan gaji. Hal tersebut diatur pada
pasal 15 UUGD No. 14/2005 yang menjelaskan bahwa guru dan dosen akan
mendapatkan gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi,
tunjangan fungsional, tunjangan khusus (bagi guru yang ditempatkan didaerah
terpencil), dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru.
Atas dasar
tersebut, sebenarnya kesejahteraan guru tidak dapat diragukan lagi pemenuhannya.
Bahkan sejak tahun 2007 menteri pendidikan telah melakukan pelaksanaan program
sertifikasi guna meningkatkan kesejahteraan guru. Hingga tahun 2010, tercatat pelaksanaan
sertifikasi guru telah diikuti oleh
sekitar 200.000 guru di seluruh Indonesia (www.sertifikasiguru.org). Namun sayangnya, hingga saat ini
pembagian alokasi dana sertifikasi belum juga rata disetiap daerah.
Di beberapa
daerah, khususnya daerah perkotaan masih banyak terdapat guru yang belum
mendapatkan dana sertifikasi karena banyaknya guru yang berebut untuk segera
mendapatkan dana tersebut sedangkan kuota (jatah) yang diberikan terbatas untuk
setiap daerah dan jenjang pendidikannya. Tak jarang, guru yang telah mengabdi
lama bahkan sampai dua puluh tahun belum juga memperoleh dana sertifikasi
sedangkan di daerah pedesaan, banyak guru yang baru mengabdi sekitar lima tahun
telah mendapatkan dana sertifikasi karena banyaknya kuota yang belum terisi
sehingga peluang mereka memperoleh dana sertifikasi lebih besar dibandingkan di
daerah perkotaan. Buruknya penetapan kuota per daerah terpaksa mengorbankan
guru-guru yang mengabdikan dirinya di daerah perkotaan.
Selain itu,
bagaimana dengan nasib guru honorer yang juga turut serta berperan dalam
pencapaian tujuan nasional pendidikan Indonesia. Baru-baru ini tepatnya hari
rabu (18/5), sejumlah guru honorer di Jawa Barat (Jabar) menggelar unjuk rasa
didepan Gedung Sate Bandung. Dalam unjuk rasa tersebut, mereka menuntut
perbaikan kesejahteraan terkait pemebrlakuan UUGD No. 14/2005 yang dinilai belum menyentuh guru honorer. Dalam UUGD
tersebut menyebutkan bahwa guru honorer berhak mendapatkan penghasilan diatas
kebutuhan hidup minimum. Namun kenyataannya, rata-rata pengahasilan guru
honorer di Jabar berkisar Rp 250.000,00 per bulan. Dimana jumlah tersebut
sangat jauh dibawah gaji minimum kabupaten atau kota(Metrotvnews.com,
18/05/2011).
Sungguh
aktualitas sangat jauh berbeda dengan kenyataan
yang diumbar-umbarkan oleh Mentri Pendidikan. Contoh tersebut hanya
segelintir contoh kecil bukti ketidak-rataan kesejahteraan guru. Ada guru yang
memperoleh kesejahteraan yang sangat tinggi namun ada juga guru yang masih
hidup dibawah garis kemiskinan. Seharusnya Mentri Pendidikan dapat lebih peka
terhadap guru-guru yang hidup dibawah garis kemiskinan karena bagaimanapun
mereka juga merupakan tombak dari perbaikan Sumber Daya Manusia (SDM) di
Indonesia.
Guruku, Jangan Kau Kotori Dirimu
Sertifikasi
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan guru dengan harapan meningkat pula kualitas
mengajarnya. Namun dalam aktualitas, pelaksanaan sertifikasi belum juga
bedampak besar terhadap kemajuan pendidikan nasional. Bahkan dengan adanya sertifikasi tersebut, menciptakan goresan kotor oleh beberapa
guru nakal karena berusaha memperoleh sertifikasi dengan jalan yang tidak
semestinya. Untuk memperoleh sertifikasi tidak langsung dapat
dinikmati oleh para guru. Mereka harus
memenuhi berbagai macam persyaratan sebagai guru profesional seperti yang
diamanahkan oleh UUGD No. 14/2005. Pasal
8 mensyaratkan bahwa guru harus berkualifikasi S1 atau D IV. Selain itu, pasal 10 menjelaskan bahwa
guru juga harus memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,
kompetensi sosial serta kompetensi professional serta banyak pasal-pasal
lainnya. Untuk memperoleh predikat sebagai guru profesional, guru harus
mengumpulkan minimal 850 kredit yang diakumulasi dari kualifikasi pendidikan
dan keempat kompetensi guru.
Untuk
memenuhi standar kualifikasi dan kompetensi tersebut, berjuta cara ditempuh
oleh guru salah satunya adalah mengikuti berbagai forum ilmiah seperti seminar,
workshop serta pelatihan-pelatihan
yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga. Namun sayangnya, tarkadang forum
ilmiah tersebut dijadikan sebagai ”ladang basah” untuk mengeruk keuntungan.
Seminar, pelatihan maupun workshop
yang diselenggarakan hanya dalam waktu sehari, menarik kontribusi dari 100 ribu
hingga 150 ribu rupiah. Seolah olah para guru hanya memburu sertifikat dan
menomor duakan ilmu yang dapat dia peroleh. Sekali lagi hal itu dikarenakan
alasan pemenuhan berkas sertifikasi dan penaikan pangkat, maka tujuan utama
dari forum ilmiah itupun menjadi hilang. Bukan itu saja, sertifikasi guru kini
menjadi barang dagangan oknum tertentu dengan iming-iming kredit poin yang
tinggi.
Bukan hanya
itu yang lebih parahnya lagi, banyak guru yang tidak tau atau bahkan malas
membuat Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dimana PTK merupakan kewajiban yang
harus dilakukan oleh seorang guru untuk memperoleh sertifikasi dan kenaikan pangkat.
Apabila seorang guru tidak melakukan PTK maka guru tersebut terancam tidak akan
mendapatkan dana sertifikasi karena kurangnya point yang ia miliki. Ancaman
yang lebih keras lagi ialah dia akan mogok pangkat. Karena ketakutan yang
begitu tinggi akhirnya beberapa guru menghalalkan seluruh cara untuk bisa
mendapatkan PTK. Salah satunya ialah dengan membayar orang-orang yang memang ahli
dalam pembuatan PTK dan menjadikan PTK itu sebagai karya aslinya.
Jika guru
seperti mereka yang akan mendapatkan predikat sebagai guru profesional, dapat
kita bayangkan bagaimana nasib bangsa ini di masa mendatang. Nasib anak bangsa
sepuluh tahun yang akan datang yang telah dididik oleh tenaga pendidik yang
tidak mengutamakan kejujuran. Masih
pantaskah guru seperti itu memperoleh predikat guru tanpa tanda jasa?. Kelak,
bangsa ini hanya akan menjadi bangsa yang mudah direkayasa dan hanya
mengedepankan formalitas semata. Dan akhirnya hanya akan menjadi bahan celaan bangsa
lain apabila hal itu terus kita biarkan berlangsung.
Meskipun masih
terdapat banyak kekurangan dalam sistem pembagian dana sertifikasi, hal itu
tidak berpengaruh terhadap keinginan para lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA)
untuk memasuki pendidikan keguruan. Bahkan semenjak mulainya teralokasikannya
dana sertifikasi, universitas-universitas spesialis yang memang mencetak calon
guru kebanjiran pendaftar. Contohnya saja tahun lalu saat saya tammat SMA, saat
itu saya hampir patah semangat untuk mengikuti seleksi keguruan di Universitas
Negri Makassar (UNM) karena saat itu saya sering mencari informasi mengenai
jumlah pendaftar dan menurut salah satu Koran yang sempat kubaca saat itu,
jumlah pendaftar keguruan UNM meningkat dua kali lipat.
Selain karena
adanya program sertifikasi yang diadakan mentri pendidikan itu, pada dasarnya
profesi guru memang profesi yang seharusnya diagung-agungkan oleh masyarakat
karena guru merupakan sebuah profesi yang mana memiliki status sosial yang
terpandang dan dihargai dimata masyarakat. Ada syarat-syarat yang mesti
dipenuhi oleh sebuah pekerjaan untuk dapat memperoleh predikat sebagai profesi.
Salah satunya adalah sebagai tenaga profesionl
dibidang tertentu yang diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan
yang cukup yang dilakukan oleh lembaga pendidikan yang akuntabel atau dapat
dipertanggungjawabkan.
Meskipun
dengan adanya guru-guru nakal tersebut tidak lantas kita menyebut bahwa semua
guru di Indonesia itu buruk namun sampai saat ini juga ada guru
yang mengutamakan nilai-nilai luhur dalam menjalankan pekerjaannya. Contohnya
sosok Butet yang sebelumnya telah dijelaskan jasa-jasanya di dunia pendidikan.
Dengan pemaparan contoh-contoh tersebut saya sangat berharap seluruh calon guru
dapat menjadikan Butet sebagai suri tauladan. Mencontohi nilai-nilai luhur yang
dia miliki.
Selain itu, yang
mesti diperhatikan lagi ialah nasib para guru swasta. Tak diragukan lagi, guru
swasta juga berperan penting dalam pengingkatan mutu pendidikan nasional
Indonesia. Namun sayangnya masih banyak guru swasta yang hidup melarat. Seperti
yang diberitakan harian seputar Indonesia pada hari ini, tanggal 20 mei 2011
bahwa sekita 4.000 guru swasta di Kabupaten Tegal masih hidup miskin bahkan
berpenghasilan Rp 725.000 per bulannya. Sungguh sangat disayangkan pendidik
penerus bangsa berpeghasilan dibawah Upah Minimum Kabuapaten (UMK) Tegal 2011 (Seputarindonesia.com,
20/05/2011).
Buruknya
kualitas pendidikan di Indonesia tidak boleh disalahkan sepenuhnya kepada guru
karena faktor peserta didik juga sangat mempengaruhi. Saat ini, peserta didik
sudah mengalami dekadensi moral. Peserta didik tidak lagi seperti dulu.
Sekarang, beberapa peserta didik bahkan berani menginjak, menghujat, dan
memukul gurunya apabila tidak senang atas apayang dilakukan gurunya
terhadapnya. Bahkan sewaktu saya SMA, saya sempat melihat senior saya menunggu
dipinggir jalan sambil menggenggam balok kayu pemukul ditangan kanannya. Tak
lama kemudian orang tua senior saya itu datangi dan menyeret paksa anaknya
untuk pulang. Keesokan harinya saya mendengar bahwa ternyata senior saya itu
sedang menunggu guru fisika saya dan berencana memukulnya. Namun untungnya
teman dari rencana pelaku pemukulan tersebut segera mengadu kepada orang tua
rencana pemukulan tersebut. Senior saya itu dendam hanya karena permasalahan
tersinggung atas perkataan guru saya.
Perbaikan citra
guru sangat penting dilakukan agar kelak siswa tidak akan meremehkan dan
sewenang wenang lagi terhadap guruhnya. Salah satu contoh buruknya citra guru
ialah adanya terbersik kabar bahwa yang mendaftar program studi keguruan merupakan
orang-orang yang memiliki kemampuan akademik marginal kebawah sehingga para
lulusan cenderung gengsi untuk mendaftarkan diri mereka diprogram studi
keguruan meskipun sebenarnya mereka berkompeten dibidang keguruan. Masalah
gengsi ikut serta berpengaruh terhadap rendahnya efektifitas pendidikan
nasional di Indonesia.
Rata-rata
peserta didik tidak peduli bagaimana hasil pembelajaran formal, yang terpenting
adalah telah melaksanakan pendidikan dijenjang yang paling tinggi sehingga
dianggap hebat oleh masyarakat. Sebagai bukti pada saat pembagian jurusan
antara kelas IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) dan IPS(Ilmu Pengetahuan Sosial).
Siswa yang memilikik nilai tinggi rata-rata memilih kelas IPA meskipun dari
segi nilai ia lebih condong ke IPS. Rata-rata pelajar tidak mau ditempatkan di
kelas IPS karena menurut mereka kelas IPS hanyalah kelas pembuangan orang-orang
bodoh sehingga mereka gengsi untuk duduk di kelas IPS. Selain itu, peserta didik juga hanya
memikirkan bagaimana cara mencapai standar pendidikan bukan bagaimana agar
pendidikan yang diambil efektif dan dapat diterapkan dalam kehidupannya.
Semua hal
tersebut mengakibatkan hilangnya makna dari pendidikan itu sendiri. Itulah
sebabnya mengapa terdapat banyak pengangguran terdidik di Indonesia. Data menunjukkan
pada bulan Agustus 2010, pekerja pada jenjang pendidikan SD ke bawah masih
tetap mendominasi yaitu sekitar 54,5 juta orang (50,38 %), sedangkan pekerja
dengan pendidikan Diploma sekitar 3,0 juta orang (2,79 %) dan pekerja dengan
pendidikan setara Sarjana hanya sebesar 5,2 juta orang (4,85 %) data tersebut
berdasarkan laporan bulanan data sosial ekonomi oleh BPS edisi 10 maret 2011.
Saya sebagai
mahasiswa yang kuliah dibidang keguruan dan dibesarkan oleh orang tua yang
berprofesi sebagai guru merasa tersakiti mengetahui kenyataan itu. Saya
bermimpi suatu saat nanti tidak akan lagi ada guru yang berlaku curang yang ada
hanyalah guru yang dapat mempertanggungjawabkan status profesionalnya sebagai
seorang guru.
Keberadaan guru
sangat berefek terhadap karakter generasi pelajar, meskipun efeknya belum
dirasakan pada hari itu, efeknya akan terlihat 10 atau 20 tahun yang akan
mendatang. Ketika guru memberikan pembelajaran yang tidak jujur seperti
pembelajaran menjadi pembohong dalam ujian nasional saja, secara tidak langsung
mereka dididik menjadi generasi-generasi palsu, berijasah palsu dan bersarjana
palsu. Jadi bagaimana kontes profesionalisme guru hari ini menggambarkan siapa
anak Indonesia hari ini. Ketika anak bangsa dibiasakan menjadi generasi-generasi
palsu maka esok lusa kemungkinan besar mereka akan tumbuh menjadi bibit-bibit koruptor sebagai
pemimpin-pemimpin bangsa yang palsu. Sudah saatnya seluruh elemen guru belajar
untuk berhati-hati dalam menampakkan tindakannya di depan siswa dan mengaplikasikan
profesionalisme dari aspek kepribadian yang dapat diteladani. Seorang guru
harus memenuhi dan memahami secara mendalam kompetensi-kompetensi yang harus
dipenuhi, entah dari aspek pedagogik,
kemampuan membangun komunikasi yang baik dengan siswa, kemampuan membangun
pondasi pribadi yang layak di contoh dan pribadi yang mampu mentransfer ilmu
sebagaimana tujuan awal adalah berniat tulus dan memiliki panggilan jiwa untuk
mencerdaskan anak-anak bangsa tanpa terkecuali.
Hari ini,
penulis bermimpi, Indonesia ke depan dapat mencetak guru-guru yang layak
mengajar dan merupakan guru yang dilahirkan bukan guru yang dijadikan. Seorang
guru harus andil menjadi power yang dapat menuntun anak-anaknya kelak. Seorang
guru yang dapat dengan bangga memperlihatkan keprofesionalismenya.
0 komentar:
Posting Komentar