Gambar kakek-kakek yang sedang menjual balon kokek-kokek |
Makassar, 20 April 2012. Saat matahari mulai
menampakkan sinarnya, ku telah berada di depan leptop untuk
menyelesaikan tugas yang sangat menumpuk. Saat saya sedang sibuk
berdiskusi dengan leptop saya, tiba-tiba kakakku dewi datang
menghampiri. “dek, temani ka dulu pergi toko beli tehel tuk wc” tuturnya
dengan sambil memegang bahuku. Akupun bergegas menutup leptopku dan
segera memakai jilbab abu-abu yang sering saya gunakan.
Bunyi klakson motor kakakku pun terus
berbunyi sebagai tanda panggilannya kepadaku dan dengan langkah yang
tergesah-gesah ku ayunkan kakiku menuju motor yang sedang ditumpangi
kakakku. Saat berada di atas motor, yang ku pikirkan iyalah toko itu
berada di dekat rumah yang berada di hertasning dimana ayah dan ibuku
bertedu dari langit.
Sekitar sepuluh menit di atas motor,
ternyata dugaan saya salah. Bukannya ke jalan hertasning baru malah ke
arah vetran. Saat di jalanan, ku lihat seorang kakek tua berkulit hitam
akibat trik matahari yang menyiram. Ia berjalan mengenakan
sandal jepit yang kelihatannya sudah sangat tua dan membawa enam balon
yang kelihatannya sangat kecil dan menurutku tak laku untuk dijual.
Balon itu akrab disebut “Kokek-kokek” di Makassar. Beliau berjalan
terus-menerus menjajakan barangnya dengan pandangan mata yang kosong.
Tak sedetikpun kualihkan pandanganku
dari kakek tua itu. Akhirnya roda motor yang dikendarai kakakkupun
berhenti berputar. Ku biarkan kakakku masuk ke toko sendirian
meyelesaikan apa yang ia ingin kerjakan dan saya tetap duduk diatas
motor sambil berharap kakek itu melewati tempat saya berpijak. Dua puluh
menitpun berlalu, harapan datangnya kakek itupun mulai sirna. Tapi
tiba-tiba ku lihat hadirnya dibalik mobil yang sejak tadi menghalangi
pandanganku tuk melihat lurus jauh kedepan. Tak terlalu jauh dariku, ku
lihat dia melangkah sedikit demi sedikit, dia berjalan tidak seperti
kebanyakan orang, langkanya begitu kecil dan dengan melihatnya berjalan,
saya dapat merasakan betapa sulitnya menggerakkan kakinya. Ia berjalan
layaknya robot yang tidak memiliki engsel, “Mungkin tulang engselnya
sakit” pikirku.
Tak lama, ku tersadar bahwa tak
sepeserpun uang yang ada di genggamanku. Segera saya lari ke dalam toko
mencari kakakku yang sedang sibuk berbicara dengan pemilik toko. “pinam k
dulu uang dua puluh ribu mu”, ucapku dengan nada yang tergesah-gesah.
Setelah mendapatkan uang, akupun kembali berlari keluar menuju kakek tua
itu. Dengan perlahan, ku berhentikan langkah kaki kakek tua itu, ku
beri tanda bahwa saya ingin membeli balon yang ia jual, sebenarnya saya
tidak membutuhkan balon itu, yang ku inginkan hanya membuat kakek itu
senang karena jerih payahnya membuat balon dan jalan di tengah trik
matahari itu tidak sia-sia.
Sesaat setelah ku berikan seluruh
uang yang tadi ku pinjam, ia langsung berdoa sambil mencium-cium uang
yang saya berikan. Meskipun tak mendengar apa yang ia katakan karena
keterbatasannya dalam berbicara, namun saya yakin kalau dia sedang
berdoa demi kebahagiaanku. Tiba-tiba tak ku sadari air mataku meluncur
di pipiku, karena malu dilihat menangis oleh orang-orang disekitarku,
dengan seketika ku hapus air mataku dan langsung beranjak pergi
mendekati motor yang sejak tadi terparkir.
Sambil memegang balon yang entah mau
ku sembunyikan kemana karena saya juga malu dilihat oleh kakakku, saya
tidak mau dicap gadis yang kekanak-kanakan. Sambil duduk di atas motor
saya berpikir, tiba-tiba pandanganku menuju ke seorang anak kecil yang
sedang duduk diatas pangkuan ibunya. Terpikir olehku tuk memberikan
balon yang kecil itu kepada anaknya, namun saya juga sedikit takut
membuat ibunya tersinggung dan banyak kemungkinan lain yang mengganggu
pikiranku dan membuatku sedikit takut. Ku himpun semua keberanianku dan
jalan menuju ibu itu, dengan tanpa mengeluarkan sedikir katapun, saya
mengayunkan balon itu kepada anaknya dengan muka yang penuh dengan
senyuman tanda saya ingin memberikan balon itu kepada anaknya. Ternyata
anaknya sangat senang dengan balon itu. Sungguh hatiku sangat bahagia
melihatnya.
Setelah itu, saya kembali menghampiri
kakakku tuk mengajaknya bergegas pulang karena sesaat lagi saya ingin
kuliah. Akhirnya kakakkupun pulang denganku. Saat ku minta uang parkir
kepada kakakku, wanita yang tadi anaknya ku berikan balon itu tiba-tiba
berdiri dan mengatakan “Jangan mi Nak, sudah ma tadi na kasi tawwa
anakku balon,” tutur wanita itu yang ternyata seorang tukang parkir dan
akhirnya kamipun pulang kerumah.
0 komentar:
Posting Komentar